SELAMAT DATANG DI AHLUSSUNNAHWALJAMAAH

BAHASA HALAMAN

Keutamaan Malam Seribu Bulan

Kamis, 19 Juli 2012
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Malam Lailatul Qadar adalah malam yang dimuliakan Allah ta’ala. Allah ta’ala menamainya dengan Lailatul Qadar, menurut sebagian pendapat, karena pada malam itu Allah Ta’ala mentakdirkan ajal, rizki dan apa yang terjadi selama satu tahun dari aturan-aturan Allah ta’ala. Hal ini sebagaimana Allah Ta’ala firmankan:
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Ad Dukhan: 4)
Didalam ayat tersebut Allah Ta’ala menamai Lailatul Qadar karena sebab tersebut. Menurut pendapat lain, disebut malam Lailatul Qadar karena malam tersebut memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menyebutnya sebagai malam yang berkah, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesunggunhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (Ad Dukhan: 3)
Allah Ta’ala juga memuliakan malam ini dalam firman-Nya:
وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (Al Qadr: 2-3)
Maksudnya, amalan di malam yang barakah ini menyamai pahala amal seribu bulan yang tidak ada Lailatul Qadar padanya. Seribu bulan sama dengan 83 tahun lebih. Ini menunjukkan keutamaan malam yang besar ini. Oleh karenanya Nabi shallallahu alaihi wasallam berusaha mencari malam Lailatul Qadar. Beliau bersabda:
“Barang siapa shalat di malam Lailatul Qadar karena keimanan dan mengharapkan pahala, maka dia akan diampuni dosanya yang telah lampau ataupun yang akan datang.”
Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa pada malam itu malaikat Jibril dan ruh turun. Ini menunjukkan betapa besar dan pentingnya malam ini karena turunnya malaikat tidak terjadi kecuali untuk perkara yang besar. Kemudian Allah Ta’ala mensifati malam itu dengan firman-Nya:
سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (Al Qadr: 5)
Allah ta’ala mensifati malam tersebut dengan malam keselamatan. Ini menunjukkan kemuliaan, kebaikan, dan keberkahannya. Orang yang terhalangi dari kebaikan malam itu berarti terhalangi dari kebaikan yang sangat banyak. Inilah keutamaan-keutamaan yang besar pada malam barakah ini.
Akan tetapi, Allah Ta’ala menyembunyikannya di bulan Ramadhan agar seorang muslim bersungguh-sungguh mencarinya. Sehingga amalnya semakin banyak dan dengan itu ia menggabungkan antara banyaknya amal di seluruh malam-malam Ramadhan dan bertepatan dengan malam Lailatul Qadar dengan segala keutamaan, kemuliaan dan pahalanya. Sehingga dengan itu ia mengumpulkan antara dua kebaikan. Ini merupakan karunia Allah ta’ala atas hamba-hamba-Nya.
Ringkasnya, bahwa Lailatul Qadar adalah malam yang besar (agung) dan berkah. Juga merupakan nikmat dari Allah ta’ala yang mendatangi seorang muslim di bulan Ramadhan. Maka jika dia diberi taufik untuk memanfaatkannya dalam kebaikan, ia akan mendapatkan pahala yang besar dan kebaikan yang banyak yang sangat dia butuhkan. (Penjelasan Asy-Syaikh Shalih Fauzan dalam Fatawa Ramadhan, 2/847-849)
Kapan Malam Lailatul Qadar itu?
Terdapat riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa malam Lailatul Qadar terjadi pada malam 21, malam 23, malam 25, malam 27, atau malam 29 dan akhir malam bulan Ramadhan.
Al-Imam Asy-Syafi’I t berkata: “Ini menurut saya, wallahu a’lam, karena Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab sesuai dengan pertanyaannya. Dan pendapat yang paling kuat bahwa itu terjadi pada malam-malam yang ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau mengatakan:
“Carilah Lailatul Qadar pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, lihat Shifat Shaum An-Nabi, Asy-Syaikh Ali Hasan, hal. 87)
Tanda-tanda Malam Lailatul Qadar
Dari Ubai ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Pagi hari dari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar seperti bejana dari tembaga sampai tinggi.” (HR. Muslim)
Dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhu, ia berkata, bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam:
“Lailatul Qadar adalah malam yang tenang, cerah, tidak panas dan tidak dingin, matahari terbit di pagi harinya lemah dan berwarna merah.” (HR. Ath-Thayalisi, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Bazzar, sanadnya hasan. Lihat Shifat Shaum An-Nabi, hal. 90)
Wallahu a’lam.
(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Qomar Suaidi, Lc, judul asli Keutamaan Malam Seribu Bulan. URL Sumber http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=130)
sumber: salafy.or.id
http://al-kitab28.blogspot.com/2012/07/keutamaan-malam-seribu-bulan.html

Hari Asyuro, Keutamaan dan Hukum-Hukumnya

بسم ا لله ا لر حمن ا لر حيم
Hari Asyuro, Keutamaan dan Hukum-Hukumnya
Segala puji hanyalah milik Allah, sholawat dan salam semoga tercurah atas penutup Rosul-Nya dan orang terbaik dari para makhlukNya Nabi kita Muhammad shalallaahu ‘alaihi wassalam beserta para pengikut dan sahabatnya.
Kemudian setelah itu, dalam pembahasan ini kami akan memaparkan apa yang dijalani oleh ahlussunnah berupa sikap peneladanan dan pertengahan terkait dengan hari ‘asyuro’ serta apa yang dijalani oleh para ahli bid’ah dan kesesatan berupa sikap ekstrim, kasar dan menyimpang dari kebenaran. Dan juga apa yang dijalani oleh Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam berupa agama yang lurus terkait dengan hari ini.
Pertama : Keistimewaan Asyuro dan keutamaan berpuasa pada hari tersebut
Telah datang (hadist/riwayat) tentang keutamaan Asyuro bahwasannya ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Nabi-Nya Musa ‘alaihis salam dan kaum mukminin yang bersamannya. Dia menenggelamkan Fir’aun dan pengikutnya pada hari tersebut. Yaitu dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah tiba di Madinah lalu mendapati kaum yahudi berpuasa asyuro maka bersabdalah Rasulullah kepada mereka :“Hari apa ini yang kalian berpuasa padanya ? ” Mereka berkata : “Ini hari yang besar , Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya padanya dan menenggelamkan fir’aun beserta pengikutnya”. Maka Musa pun berpuasa pada hari tersebut sebagai rasa syukur, sehingga kami juga berpuasa. Lantas Rasulullah bersabda : “Kalau begitu kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa daripada kalian”.Maka Rasulullah pun berpuasa pada hari tersebut dan memerintahkan untuk berpuasa (HR.Al Bukhori No 2004 dan Muslim No 11330).
Dan sungguh telah datang penjelasan tentang keutamaan puasa Asyuro dalam hadist Abu Qotadah bahwa Nabi shalallaahu ‘alaihi wassalam ditanya tentang puasa Asyuro maka beliau bersabda : “Menghapus dosa – dosa setahun yang lalu” dan dalam riwayat lain : “Puasa Asyuro, aku  berharap bahwa Allah akan menghapus dosa tahun yang sebelumnya” (HR Muslim no 1162). Dan dalam hadist yang lain  : “barang siapa yang puasa Asyuro maka Allah akan mengampuninya dosa – dosa selama setahun ” (HR Al Bazzar, lihat : Mukhtashor Zawaid al Bazzar 1/407, dihasankan oleh Al Albani dalam Shohih at Targhib wa Tarhib 1/422). Bahkan sesungguhnya puasa tersebut sebanding dengan puasa setahun sebagaimana dalam sebuah riwayat : “itu adalah puasa setahun” (HR Ibnu Hibban 8/394,3631, Syu’aib Al Arnauth berkata : “sanadnya sesuai syarat muslim”)
Ibnu ‘abbas menggambarkan semangat Nabi shalallaahu ‘alaihi wassalam untuk berpuasa padanya. Beliau berkata : “Aku tidak melihat Nabi begitu perhatian terhadap sebuah puasa yang beliau utamakan dari yang lain, selain hari ini yaitu hari Asyuro dan bulan ini yaitu bulan Ramadhan ”.(HR Al Bukhori 2006). Ibnu Hajar mengatakan : “Ini tidak berarti lebih mengutamakannya dari pada hari arofah , karena sesungguhnya puasa ini (hari arofah -pent) menghapus dosa dua tahun, dan teristimewakan dengan tambahan keutamaan karena ada ibadah-ibadah, ampunan dan pembebasan (dari api neraka) yang terjadi padanya. Kemudian sesungguhnya (puasa) ini diapit oleh bulan – bulan harom sebelum dan sesudahnya dan juga puasa ini termasuk diantara kekhususan syariat kita lain halnya dengan Asyuro, sehingga puasa ‘Arofah dilipat gandakan karena barokah Al Musthofa”  (Al Fath : 4/292)
Kedua : Tahapan-tahapan pensyariatan puasa Asyuro
Puasa Asyuro melewati beberapa tahap pensyariatan (lihat Al Lathoif : 102-109).
Tahap pertama : Bahwa Nabi shalallaahu ‘alaihi wassalam pada awalnya berpuasa Asyuro di mekkah dan tidak menyuruh orang-orang untuk berpuasa padanya
Tahap kedua : Saat tiba di Madinah beliau menjumpai kaum yahudi berpuasa pada hari tersebut. Maka beliaupun berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa pula. Sampai-sampai beliau menyuruh orang yang sudah terlanjur makan pada hari itu untuk berpuasa pada sisa hari tersebut. Kejadian itu terjadi ditahun kedua hijriyah, sebab beliau tiba di Madinah pada Robi’ul Awwal
Tahap ketiga : Tatkala puasa ramadhan diwajibkan pada tahun kedua, kewajiban puasa Asyuro dihapus dan menjadi mustahab (sunnah). Jadi perintah untuk puasa tersebut tidak terjadi kecuali hanya selama setahun. (Al Fath 4/289)
Ada beberapa hadist yang mendukung (penjelasan) tentang tahapan-tahapan ini :
  1. Hadist ‘Aisyah radhiyallaahuanha beliau berkata dahulu suku Quroisy melakukan puasa Asyuro dimasa jahiliyah. Dan Rasulullah juga berpuasa. Lalu ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau pun berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa. Kemudian tatkala puasa ramadhon diwajibkan beliau bersabda :”Barang siapa yang ingin berpuasa (Asyuro) maka silahkan,  barang siapa yang ingin (tidak berpuasa) silahkan dia tinggalkan ”. (HR Muslim 1125)
  2. Hadist Rubayyi’ bintu Mu’awwidz dia berkata : “Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam mengutus (orang) pada pagi hari Asyuro kepada kampung-kampung penduduk Anshor yang berada disekitar Madinah : “Barang siapa yang berpuasa diantara kalian maka hendaknya menyempurnakan puasanya, dan barang siapa dipagi harinya berbuka maka hendaknya berpuasa pada sisa harinya”. Maka setelah itu kami  berpuasa (Asyuro), dan melatih anak-anak kecil kami untuk berpuasa, kami membawa mereka ke masjid serta membuatkan mereka mainan dari kapas. Maka pergilah kami bersama mereka. Kalau mereka minta makanan kepada kami, kami beri mereka mainan untuk membuat mereka lupa sehingga mereka bisa menyempurnakan puasa.”. (HR Muslim 1136)
Tahapan keempat : Perintah untuk menyelisihi yahudi dalam (tatacara) pelaksanaan puasa Asyuro.
Pada awalnya Nabi senang menyamai ahli kitab (yahudi dan nasrani) pada hal-hal yang beliau tidak disuruh berbeda. (Sebagaimana riwayat yang shohih dari Ibnu ‘abbas dalam Shohih Al Bukhori no 5917) Sampai pada akhirnya beliau diperintahkan untuk menyelisihi mereka dan dilarang untuk menyamai mereka. Sehingga beliaupun bertekad untuk tidak hanya berpuasa pada hari Asyuro saja. Jadi  (bentuk) penyelisihan beliau terhadap mereka berupa meninggalkan puasa Asyuro secara bersendirian. Ada beberapa hadist yang mendukung hal tersebut, diantaranya :
Dari Ibnu ‘Abbas dia berkata : “Ketika  Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam puasa Asyuro dan menyuruh berpuasa, mereka (para sahabat-pent) berkata : “Sesungguhnya itu adalah hari yang diagungkan oleh yahudi dan nasrani !”, maka Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam bersabda: ‘Apabila tahun depan tiba insya Allah kita akan puasa tanggal 9’ ” Dia (Ibnu ‘abbas) berkata : “Ternyata tidaklah datang tahun berikutnya sampai Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam meninggal ”. (HR Muslim 1134)
Ketiga : Tatacara menyelisihi yahudi dalam melaksanakan puasa Asyuro
Tampak dari penjelasan yang lalu pada hadits-hadist –wallahu A’lam- bahwa yang paling sempurna adalah puasa tanggal 9 dan 10, karena itulah yang nabi bertekad untuk melakukannya.
Keempat : Berbagai amalan orang-orang dihari Asyuro menurut timbangan syariat
Orang yang memperhatikan kondisi masyarakat sekarang akan melihat bahwa mereka mengkhususkan Asyuro dengan bermacam kegiatan diantaranya :
  1. Puasa, dan telah kita ketahui sisi pensyariatannya.
  2. Menghidupkan malam Asyuro dan bersemangat untuk berlebih-lebihan membuat makanan serta melakukan penyembelihan secara meluas untuk mengambil dagingnya dan menampakkan keceriaan serta kegembiraan.
  3. Apa yang terjadi dibanyak negeri berupa perkumpulan-perkumpulan (perayaan) yang berisi berbagai  simbol (upacara) tertentu yang dilakukan oleh kaum Rofidhoh (Syiah) dan selain mereka.
Supaya kita bisa mengetahui sejauh mana disyariatkannya amalan-amalan tadi sehingga merupakan pendekatan diri kepada Allah, atau justru tidak disyariatkan sehingga merupakan bid’ah-bid’ah dan ajaran yang diada-adakan yang bisa menjauhkan seorang hamba dari Allah. Maka sesungguhnya kita harus mengetahui dengan baik bahwa amalan yang akan diterima oleh Allah memiliki beberapa syarat, diantaranya : hendaknya orang yang beramal mengikuti Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam dalam (tatacara) amalannya. Apabila kita memperhatikan perbuatan orang-orang dihari Asyuro –sama saja yang terjadi dizaman sekarang atau dahulu ataupun yang baru saja berlalu (lihat tentang bid’ah-bid’ah Asyuro : Al Madkhol karya Ibnu Al Haaji’ 1/208-209)- maka kita akan melihat bahwa perbuatan tersebut bisa dikelompokkan menjadi beberapa bentuk :
  1. Yang masuk dalam kategori ibadah yang mana mereka mengkhususkan hari ini dengan beberapa ibadah seperti sholat malam ‘asyuro, ziarah kubur pada siang harinya, sedekah, memajukan atau mengakhirkan zakat dari waktu wajibnya dengan tujuan agar bertepatan dengan hari Asyuro, membaca surat yang berisi penyebutan Musa pada sholat shubuh hari Asyuro. Maka pada perbuatan-perbuatan ini dan yang semisalnya terdapat penyelisihan (terhadap syariat) dari sisi sebab amalan, yaitu mengkhususkannya pada waktu yang pembuat syariat (Allah dan RosulNya) tidak mengkhususkannya dengan amalan-amalan ini. Seandainya dia (pembuat syariat) menghendakinya atau menginginkannya pasti dia akan memberikan dorongan untuk melakukannya, sebagaimana dia telah menganjurkan untuk berpuasa pada hari tersebut. Jadi perbuatan tersebut tidak diperbolehkan dengan alasan membatasi waktu (mengkhususkan), meskipun pada asalnya memang disyariatkan.
  2. Yang masuk dalam kategori adat kebiasaan yang biasa dilakukan pada hari Asyuro dalam rangka menyamakannya dengan hari raya, diantaranya : mandi, memakai celak, memakai bukhur (sejenis kayu yang berbau wangi), pesta makan dan minum, menggiling biji-bijian, memasak makanan khusus, menyembelih untuk dimakan dagingnya, menampakkan keceriaan dan kegembiraan. Dan sebagiannya ada berbagai kebiasaan yang tidak lepas dari perbuatan mungkar yang jelek. Perbuatan-perbuatan ini pada mulanya muncul dan terjadi sebagai bentuk reaksi balik terhadap acara perkumpulan Rofidhoh (Syiah) yang mereka laksanakan sebagai wujud duka cita atas terbunuhnya Al Husain. Yakni diantara nashibah atau nawashib (mereka adalah orang-orang yang memancangkan permusuhan terhadap ahli bait (keluarga nabi), berseberangan dengan Rofidhoh yang berlebih-lebihan memperlakukan mereka (ahlul bait)) ada yang menampakkan sikap gembira atas bencana yang menimpa orang lain dan suka cita, serta mengada-adakan berbagai perkara yang tidak diajarkan agama pada hari itu. Jadi mereka terjatuh dalam perbuatan menyerupai yahudi yang menjadikan hari tersebut sebagai hari raya -sebagai mana yang telah lalu-  (sebagaimana yang disebutkan Syaikhul Islam dalam kitabnya Iqtidho’ Ash Shirot Al Mustaqim 2/129 – 134) Adapun mandi, memakai celak dan menyemir rambut maka tidak ada satupun riwayat yang benar tentangnya. Dan ketika Ibnu Taimiyah mengisyaratkan kepada hadist-hadist yang diriwayatkan berkaitan dengan keutamaan Asyuro berliau berkata : “Semua ini adalah kedustaan atas Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam, tidak ada (riwayat) yang benar tentang hari Asyuro selain (riwayat tentang ) keutamaan berpuasa ”. (Minhaj As Sunnah An Nabawiyah 7/39). Dan dengan itulah diketahui bahwa syariat tidak mengkhususkan Asyuro dengan suatu amalan apapun selain puasa. Dan inilah jalan Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam.
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam suri tauladan yang baik bagi orang yang mengharapkan (perjumpaan) dengan Allah dan hari akhir serta banyak mengingat Allah”(QS. Al Ahzab : 21.)
Batapa banyak terluput sikap mengambil teladan kepada Nabi dan mengamalkan sunnah beliau dari orang-orang yang tersibukan dengan berbagai bid’ah itu !
Acara-acara perkumpulan syi’ah (Rofidhoh dan Batiniyah) :
Adapun berkaitan dengan acara-acara perkumpulan syi’ah maka sesungguhnya tidak ada perbedaan perndapat tentang keutamaan Al Husain. Yakni beliau termasuk ulama dari kalangan sahabat nabi dan pemimpin kaum muslimin di dunia maupun akherat yang mana mereka terkenal dalam ibadah, keberanian dan kedermawanan. Beliau juga putra dari putri (Fatimah) dari manusia termulia shalallaahu ‘alaihi wassalam. Yang mana dia (Fatimah) adalah putri beliau yang paling utama. Pembunuhan yang terjadi terhadap beliau (Al Husain) adalah sebuah perbuatan mungkar lagi sangat jelek yang membuat sedih setiap muslim. Dan sungguh Allah telah membalas orang-orang yang membunuh beliau (Al Husain) sehingga Dia menghinakan mereka di dunia dan menjadikan mereka sebagai pelajaran bagi yang lain. Yakni telah menimpa mereka berbagai penyakit dan fitnah dan sedikit dari mereka yang selamat. Yang sepantasnya ketika menyebutkan musibah Al Husain dan yang lain adalah bersikap sabar dan ridho terhadap ketetapan Allah dan taqdirnya, dan bahwa Dia memilihkan untuk hambanya yang terbaik kemudian mengharap pahala musibah tersebut dari Allah.
Akan tetapi apa yang diperbuat oleh kaum syi’ah berupa menampakkan kesusahan dan kesedihan yang kebanyakannya sangat terlihat terlalu dibuat-buat dan memberat-beratkan diri adalah sama sekali tidak baik. Sungguh  dahulu bapaknya (Al Husain) yaitu ‘Ali, lebih utama darinya juga telah terbunuh. Akan tetapi mereka (Syiah) tidak menjadikan kematian beliau sebagai hari berkumpul (perayaan). Demikian pula terbunuhnya ‘Utsman, Umar dan meninggalnya Abu Bakr yang mereka semua lebih utama darinya.
Dan pimpinan para makhluk (Nabi) telah meninggal pula, tapi tidak dilakukan pada hari kematian beliau seperti pada hari kematian Al Husain. Membuat (perayaan-perayaan) bukanlah termasuk ajaran agama kaum muslimin sama sekali, bahkan itu lebih mirip dengan perbuatan masyarakat jahiliyah. (Al Fatawakarya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 25/307-314, dan Iqtidho Ash Shorot Al Mustaqim 2/129-131)
Ibnu Rajab berkata tentang hari Asyuro : “Adapun menjadikannya sebagai perayaan sebagaimana yang dilakukan kaum Rofidhoh dalam rangka memperingati kematian Al Husain bin ‘Ali pada hari tersebut, maka hal itu termasuk perbuatan orang-orang yang sia-sia usahanya di kehidupan dunia sedangkan dia menyangka bahwa dia sedang berbuat baik. Allah dan RosulNya juga tidak memerintahkan untuk menjadikan hari terjadinya musibah terhadap para nabi dan kematian mereka sebagai perayaan, maka bagaimana dengan orang yang tingkatannya di bawah mereka ? ”. (Lathoif Al Ma’arif 113)
Dan yang perlu diperhatikan bahwa acara perkumpulan Rofidhoh pada hari Asyuro tidak berkaitan dengan satu prinsip islam pun, sedikit ataupun banyak. Karena tidak ada hubungannya acara mereka dengan selamatnya Musa, begitu pula puasa nabi. Justru kenyataannya mereka memanfaatkan kesempatan untuk mengalihkannya kearah yang lain. Dan ini termasuk suatu jenis penggantian terhadap agama Allah.
Dinukil oleh Saudari Ummu Zubair dari Libia
Diterjemahkan oleh : Abdul Qowiyy
Murojaah oleh Al Ustadz Qomar ZA, Lc.
sumber: salafy.or.id
http://al-kitab28.blogspot.com/2012/07/hari-asyuro-keutamaan-dan-hukum-hukumnya.html

Hikmah Terjadinya Gerhana

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Wahai para pembaca, sesungguhnya gerhana matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran dan kekuasaan Allah, yang dengan keduanya Allah hendak menumbuhkan rasa takut pada manusia. Sebagaimana Nabi menjelaskan demikian dalam haditsnya yang shahih: “Sesungguhnya ayat-ayat (kauniyyah) ini Allah utus bukan karena kematian seseorang, bukan pula karena kelahiran seseorang, akan tetapi Allah hendak memberikan rasa takut kepada hamba-hambanya dengannya, maka bila kalian melihat sesuatu darinya, segeralah berdzikir kepada Allah, berdoa kepadaNya, dan beristighfar”[Muttafaqun alaihi]
Mengetahui sebab gerhana dari sisi alamiyah yang saya maksud tertutupnya rembulan terhadap sinar matahari atau tertutupnya bumi terhadap sinar matahari. Tidak berarti keduanya bukan dua tanda kekuasaan Allah. Akan tetapi peristiwa ini, Allah tetapkan dengan sebab dibelakangnya ada hikmah-hikmah sesuai dengan apa yang diberitakan oleh Nabi bahwa itu adalah takhwif. Pemberian rasa takut (atau peringatan) dari Allah kepada hamba-hambaNya atas dosa-dosa mereka dan maksiat-maksiat mereka dan hendaknya mereka merasa tertegur oleh Rabb mereka dan melakukan hal yang membuat ridhoNya dengan memperbarui tobat dan segera kembali kepada Allah dan melakukan sholat berjamaah atau sendiri-sendiri. Adapun berjamaah lebih utama, selain itu agar mereka memperbanyak shodaqoh dan doa sampai kembali menjadi terang.
Dan pada penutupan (makalah) ini ada peringatan, yaitu bahwa kita sekarang ini telah diuji dengan banyaknya para penulis dan para komentator yang dengan sekuat tenaga berusaha membatalkan (atau mengaburkan:pen) pengaruh dari datangnya tanda-tanda kekuasaan Allah ini yaitu untuk memberikan rasa takut kepada mereka (sebagai peringatan) terhadap hamba-hambaNya. Lihatlah mereka menggambarkan gerhana hanya sebatas kejadian alam yang tiada sangkut pautnya dengan dosa-dosa manusia.
Sehingga banjir-banjir, penenggelaman, tidak ada sebabnya melainkan hanya karena kerusakan tatanan dan karena sembarangan dalam membangun. Gempa-gempa tidak mempunyai sebab melainkan hanya gerakan lempengan dalam bumi.
Maha Suci Allah, siapakah yang menggerakkan bumi sehingga membuat binasa  yang mengalirkan banjir sehingga menenggelamkan  dan membuat gerhana matahari sehingga menjadi gelap. Bukankah Allah…bukankah seandainya Allah berkehendak, tentu Allah akan menghalanginya sehingga tidak terjadi?
Dan siapakah yang mengabarkan bahwa kejadian-kejadian dan musibah ini, tujuannya adalah menumbuhkan rasa takut pada diri hamba-hambaNya sehingga mereka mau bertaubat, dan kembali mengambil pelajaran serta mengambil ibroh. Bukankah utusan Sang Pencipta makhluk di alam bagian atas dan bawah? Bukankah dia  Shallahu alaihi wa sallam adalah orang yang jujur lagi dibenarkan?
Sesungguhnya gerhana di masa Rasulullah tidak terjadi melainkan hanya sekali yakni tahun 8 H bertepatan dengan meninggalnya putra ibrohim. Setelah itu,  tidak terjadi lagi sampai meninggalnya Rasullullah.
Maka lihatlah dan perhatikanlah  bagaimana gerhana banyak terjadi belakangan ini, tidak ada lain kecuali karena banyaknya kejelekan dan maksiat.
Maka hendaknya engkau wahai saudaraku yang muslim berpegang dengan dalil-dalil syar’i dari al Quran dan al Hadits. Hati-hati, jangan sampai kamu terkecoh dengan pendapat-pendapat yang bertentangan dengannya, walaupun dihiasi dengan syubhat yang menipu dan pemaparan yang manis (dikesankan ilmiyah-pen). Karena sesungguhnya Allah tidak mengatakan kecuali kebenaran dan tidaklah Rasulullah menyampaikan dari Rabbnya melainkan kebenaran. Tidak ada setelah kebenaran kecuali kebatilan.
Allahlah yang lebih tahu. Semoga Allah memberikan sholawatNya kepada hambaNya dan RasulNya serta keluarganya dan para sahabatnya juga memberikan salamNya kepada mereka.
Dr. Ali bin Yahya al Haddadi
Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Muhammad bin Su’ud Riyadh KSA
Alih bahasa : Qomar Suaidi ZA
Catatan penerjemah: dengan banyaknya gerhana artinya banyak peringatan dari Allah atas dosa-dosa yang banyak dilakukan manusia. Sementara kenyataanya sekarang orang-orang memandang gerhana sebagai hal biasa bahkan menyenangkan, melihat, dan menikmatinya bahkan sebagian orang sambil bermaksiat dan berpacaran, Na’udzubillah min dzalik. sementara amalan yang disyariatkan tidak dilakukan, seperti sholat, shodaqoh, berdoa, dan beristghfar kepada Allah. Sungguh sangat terbalik., pantaslah kalau musibah silih berganti tak kunjung usai. Karena peringatan seolah tidak lagi mempan buat kebanyakan umat ini. Kepadamulah kami mengadu Ya Allah. Sadarlah wahai umat manusia.
sumber: salafy.or.id
http://al-kitab28.blogspot.com/2012/07/hikmah-terjadinya-gerhana.html

Umamah Bintu Abil ‘Ash radhiyallahu ‘anha

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Bagaimana takkan bahagia merasakan kasih sayang seorang yang begitu mulia, menjadi panutan seluruh manusia. Kisah buaian sang kakek dalam shalat menyisakan faedah besar bagi kaum muslimin di seluruh dunia.
Zainab, putri sulung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, disunting pemuda Quraisy, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ bin ‘Abdil ‘Uzza bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Manaf bin Qushay Al-Qurasyi namanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahi mereka dua orang anak, Umamah dan ‘Ali.
Sepanjang masa kecilnya, Umamah bin Abil ‘Ash benar-benar merasakan kasih sayang sang kakek, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga suatu kali, para shahabat tengah duduk di depan pintu rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata beliau muncul dari pintu rumahnya sembari menggendong Umamah kecil. Beliau shalat sementara Umamah tetap dalam gendongannya. Jika beliau ruku’, beliau letakkan Umamah. Bila beliau bangkit, beliau angkat kembali Umamah. Begitu seterusnya hingga beliau menyelesaikan shalatnya.
Suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapatkan hadiah. Di antaranya berupa seuntai kalung. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memungutnya. “Aku akan memberikan kalung ini pada seseorang yang paling kucintai di antara keluargaku,” kata beliau waktu itu. Para istri beliau pun saling berbisik, yang akan memperoleh kalung itu pastilah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Umamah, sang cucu. Beliau pakaikan kalung itu di leher Umamah. “Berhiaslah dengan ini, wahai putriku!” kata beliau. Lalu beliau usap kotoran yang ada di hidung Umamah.
Ketika Abul ‘Ash meninggal, dia wasiatkan Umamah pada Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Tahun terus berganti. Pada masa pemerintahan ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu meminang Umamah. Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu pun menikahkan ‘Ali dengan Umamah. Namun dalam pernikahan ini Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan seorang anak pun kepada mereka.
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah meminta Al-Mughirah bin Naufal Al-Harits bin ‘Abdil Muththalib Al-Hasyimi radhiyallahu ‘anhu agar bersedia menikah dengan Umamah bila dia telah wafat. ‘Ali pun berpesan pula kepada Umamah, bila dia meninggal nanti, dia ridha jika Umamah menikah dengan Al-Mughirah.
Subuh hari, 17 Ramadhan, 40 tahun setelah hijrah. Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan Umamah harus berpisah dengan suaminya. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, terbunuh oleh seorang Khawarij bernama ‘Abdurrahman ibnu Muljam dengan tikaman pedangnya.
Selesai masa iddahnya, Umamah mendapatkan pinangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ’anhuma. Umamah pun segera mengutus seseorang untuk memberitahukan hal ini kepada Al-Mughirah bin Naufal. “Kalau engkau mau, kau serahkan urusan ini padaku,” jawab Al-Mughirah. Umamah pun mengiyakan. Lalu Al-Mughirah meminang Umamah pada Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhuma yang kemudian menikahkan Al-Mughirah dengan Umamah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan pada mereka seorang anak, Yahya ibnul Mughirah namanya. Namun tidak lama hidup bersisian dengan Al-Mughirah, Umamah bintu Abil ’Ash meninggal di masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ’anhuma.
Umamah bintu Abil ‘Ash, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya ….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
sumber: salafy.or.id
http://al-kitab28.blogspot.com/2012/07/umamah-bintu-abil-ash-radhiyallahu-anha.html

Surat An-Nisa`, Satu Bukti Islam Memuliakan Wanita

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah?
Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6)
Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.
1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)
Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566)
Dalam hadits shahih disebutkan:
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)
2. Dijaganya hak perempuan yatim.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)
Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: maka Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat:
وَيَسْتَفْتُونَكَ
“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain:
وَتَرْغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ
“Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)
Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)
Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ ۖ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ
Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)
3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)
Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:
وَلَن تَسْتَطِيعُوا أَن تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”
Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)
Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.
4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)
5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)
Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ۖ
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)
Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)
Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ۚ
“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)
Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)
6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)
7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: ÝóÅöäú ßóÑöåúÊõãõæåõäøó (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)
8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا ۚ أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا
“Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21)
9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ
“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)
Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)
Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
“(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)
Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)
Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufik.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma adalah saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=617
sumber: salafy.or.id
http://al-kitab28.blogspot.com/2012/07/surat-nisa-satu-bukti-islam-memuliakan.html

Hukum Air dan Penggunaannya

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

oleh : Ustadz Kharisman

Bagaimana Hukum Asal Air ?
Jawab : Air hukum asalnya adalah suci dan bisa digunakan untuk bersuci (berwudhu’, mandi, menghilangkan najis).

إِنَّ اَلْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
Sesungguhnya air adalah suci (dan mensucikan), tidaklah ternajiskan dengan suatu apapun (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, anNasaa-i)
Jika anda menemukan sejumlah air dan tidak bisa dipastikan apakah suci atau tidak, maka secara asal ia adalah suci dan mensucikan, sampai ada hal yang meyakinkan yang diketahui dengan jelas bahwa air tersebut sudah tidak suci lagi.
Kapan Air Tidak Bisa Digunakan untuk Bersuci?
Jawab : Air tidak bisa digunakan untuk bersuci jika:
1. Terkena benda najis dan salah satu sifatnya berubah (warna, rasa, dan bau). Hal ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan para Ulama’).
2. Tercampur oleh benda lain yang suci dan sudah berubah menjadi bukan air lagi.
Contoh: Air tercampur dengan teh sehingga mendominasi dan berubah menjadi teh. Selanjutnya ia tidak bisa lagi digunakan untuk bersuci (berwudhu’,
mandi, menghilangkan najis).
Hal ini disebabkan bahwa dalam alQur’an dan asSunnah benda cair satu-satunya yang bisa digunakan untuk bersuci hanyalah air (ماء /الماء ), maka selama nama penyebutannya masih “air” secara mutlak, maka ia masih bisa digunakan untuk bersuci.
Sumber Air yang Berasal dari Alam
Dari langit : hujan, embun, salju.
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
… dan Kami turunkan dari langit air yang suci (dan mensucikan) (Q.S alFurqan:48)
اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِاْلمَاءِ وَالثَّلْجِ وَاْلبَرَدِ
…Ya Allah, cucilah aku dari dosa-dosaku dengan air, salju, dan embun (doa iftitah yang diajarkan Nabi dalam riwayat alBukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Dari tanah : sungai, danau, mata air
مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ كَمَثَلِ نَهْرٍ جَارٍ غَمْرٍ عَلَى بَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ
Permisalan sholat 5 waktu adalah seperti sungai mengalir yang deras di depan pintu rumah kalian yang dipakai mandi 5 kali sehari (H.R Muslim).
Selain dari tanah : air laut.
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, anNasaa-i, Ibnu Majah).
Semua adalah suci dan mensucikan (thohuurun) berdasarkan nash dalam alQur’an dan asSunnah.
Apakah Ada Takaran Jumlah Penggunaan Air dalam Bersuci?
Jawab : Tidak ada takaran khusus, namun disunnahkan untuk menggunakan air secara hemat, sesuai keperluan, dan tidak berlebihan. Patokannya adalah penggunaan air minimal yang bisa menyebabkan bersuci secara sempurna. Contoh: untuk berwudhu’ bagian yang yang harus dicuci (wajah, tangan, dan kaki) bisa dicuci semua (bukan sekedar diusap).
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bisa bersuci secara sempurna dengan menggunakan air yang takarannya sangat sedikit. Beliau berwudhu’ dengan 1 mud (sekitar 0,75 liter) dan mandi dengan 1 sha’ (sekitar 3 liter)
عَنْ أَنَس بْنِ مَالِكٍ : كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ, وَيَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ
Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam berwudhu’ dengan 1 mud dan mandi dengan 1 sha’ sampai 5 mud (Muttafaqun ‘alaih: diriwayatkan dan disepakati keshahihannya oleh alBukhari dan Muslim)
Bahkan, Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam pernah berwudhu’ dengan 2/3 mud (sekitar 0,5 liter air), sebagaimana hadits riwayat Ahmad dari Sahabat Abdullah bin Zaid (dishahihkan Ibnu Khuzaimah, hadits no 41 dalam kitab Bulughul Maram). Semakin mendekati Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam dalam takaran penggunaan air adalah lebih baik dan sempurna.
Apakah Adab-Adab dalam Menggunakan Air?
Jawab : Adab-adab dalam menggunakan air di antaranya:
1. Menggunakan air secara hemat. Sesuai dengan hadits Anas bin Malik riwayat alBukhari dan Muslim tentang berwudhu’nya Nabi dengan air yang hanya seukuran 1 mud (sekitar 0,75 liter) di atas.
2. Tidak mencelupkan tangan ke dalam air sebelum mencuci kedua tangan tersebut ketika baru bangun tidur.
إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا
Jika salah seorang dari kalian baru bangun dari tidurnya, janganlah mencelupkan tangannya ke dalam bejana (yang berisi air) sampai mencucinya 3 kali…(H.R alBukhari dan Muslim, lafadz berdasarkan Muslim)
3. Tidak berendam di air yang tidak mengalir jika dalam keadaan junub.
لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ
Janganlah salah seorang mandi (berendam) di air yang diam dalam keadaan junub (H.R Muslim)
4. Tidak kencing di air yang diam (tidak mengalir)
لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الرَّاكِدِ
Janganlah sekali-kali kalian kencing di air yang diam (tidak mengalir) (H.R Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Lebih parah lagi, kencing di air yang diam, kemudian mandi dengan air tersebut.
لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ مِنْهُ
Janganlah sekali-kali kalian kencing di air yang diam kemudian mandi darinya (H.R Muslim)
Bagaimana Hukum Menggunakan Air Hangat untuk Berwudhu’?
Jawab : Menggunakan air hangat untuk berwudhu’ adalah boleh dan tidak makruh. Namun, jika air tersebut cukup panas sehingga menyebabkan kesulitan menyempurnakan wudhu’, maka menjadi makruh. Para Sahabat Nabi yang berpendapat bolehnya berwudhu’ dengan air hangat adalah Umar bin alKhotthob, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Anas bin Malik (penjelasan Ibnu Qudamah dalam alMughni (1/25).
Apakah yang Dimaksud dengan Air Musta’mal? Bolehkah menggunakan air musta’mal untuk berwudhu’ dan mandi?
Jawab :
Air musta’mal secara bahasa adalah air yang telah digunakan. Air musta’mal bisa dalam beberapa keadaan:
a) Air di dalam suatu bejana (ember atau gayung, dan semisalnya) yang tersisa setelah dipakai untuk berwudhu’ atau mandi. Air tersebut digunakan dengan cara diciduk dengan tangan.
b) Air dari tetesan bekas berwudhu’ atau mandi yang kadarnya sedikit.
Hukum air ini adalah suci dan mensucikan. Bisa digunakan untuk berwudhu’, mandi, atau menghilangkan najis. Dalilnya banyak, di antaranya: hadits Abu Juhaifah radliyallahu anhu:
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْهَاجِرَةِ فَأُتِيَ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam pernah keluar bersama kami di al-Hajiroh, kemudian didatangkan kepada beliau air wudhu’. Kemudian beliau berwudhu’ dan para Sahabat mengambil sisa air wudhu’ beliau sehingga mereka gunakan untuk mengusap (H.R alBukhari)
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany berpendapat dengan hadits ini bahwa air musta’mal adalah suci (Fathul Baari juz 1 halaman 295). Pendapat yang benar menurut penjelasan Syaikh al-Utsaimin dan Syaikh Sholih alFauzan, air mutlak hanyalah terbagi menjadi 2 jenis: air yang suci (juga mensucikan) dan air najis. Tidak ada air yang bersifat suci namun tidak mensucikan. Jika ia tidak suci, maka ia adalah najis dan tidak bisa mensucikan. Adapun air yang tercampur dengan zat cair lain sehingga mendominasi sifatnya, hal itu bukanlah air mutlak lagi, namun disebut sebagai air campuran, seperti air teh, air sirup, dan sebagainya, yang tidak bisa digunakan untuk bersuci.
Bolehkah Seorang Laki-laki Bersuci dengan Menggunakan Sisa Air yang Digunakan Bersuci oleh Wanita?
Jawab : Tidak mengapa, namun makruh (tidak disukai). Dalil yang menunjukkan bahwa hal itu tidak mengapa:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma (beliau berkata): Sesungguhnya Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam pernah mandi dengan sisa air dari Maimunah (istri beliau) (H.R Muslim)
Hal yang menunjukkan bahwa itu makruh (tidak disukai) adalah hadits:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُورِ الْمَرْأَةِ
Sesungguhnya Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang seorang laki-laki berwudhu’ dengan sisa bersucinya wanita (H.R Abu Dawud dan atTirmidzi)
Air yang Semula Terkena Najis, Kemudian dengan proses tertentu menjadi jernih dan hilang sifat-sifat najisnya (warna, rasa, dan bau). Apakah air tersebut berubah menjadi suci?
Jawaban : Ya. Air tersebut telah berubah menjadi suci karena sifat-sifat najisnya sudah hilang. (Lihat penjelasan Syaikh al-Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ (1/57))
sumber: salafy.or.id
http://al-kitab28.blogspot.com/2012/07/hukum-air-dan-penggunaannya.html
 

© 2010 AHLUSSUNNAHWALJAMAAH - Design bySEO Blog - Google Search Style Media Blog